Wisuda adalah
momen yang paling ditunggu oleh seluruh mahasiswa, termasuk gue. Prosesi pemindahan
tali toga yang nggak sampai lima menit itu harus didahului oleh perjuangan
panjang, drama ngejar-ngejar dosen dan tangisan selama empat tahun (atau lebih)
lamanya. Yap, perjuangan kuliah dan menyelesaikan skripsi yang tidak mudah itu,
akhirnya dapat gue sempurnakan dengan kelulusan bernama wisuda. Alhamdulillah.
Untuk beberapa
saat, gue bahagia bukan kepalang. Rasa lega menyelimuti hati. Bahagia membuncah
karena bisa mewujudkan mimpi orangtua untuk melihat putrinya wisuda dan
mendapat gelar sarjana pendidikan.
Saat itu,
gue lupa bahwa kehidupan nyata dan dunia kerja yang kejam sedang menanti. Gue,
yang hanya bermodalkan ijazah S-1 beserta pengalaman kuliah yang nggak banyak,
harus mulai melangkah dan bersaing dengan ribuan sarjana lainnya.
Beberapa hari
setelah wisuda, seperti kebanyakan orang, gue posting foto di sosial media. Lalu,
menulis caption betapa bersyukurnya gue bisa lulus. ketawa haha-hihi sama
temen-temen yang berhasil lulus tepat waktu.
Beberapa minggu
kemudian, setelah resmi mendapatkan ijazah. Setelah semua urusan administrasi
dengan kampus selesai. Setelah itu, gue nggak banyak kegiatan. Yah, dan
resmilah gue menjadi pengangguran. Kedengarannya biasa aja, tapi itu sungguh
mengerikan buat gue. Gue terbiasa sibuk dengan melakukan aktivitas kuliah. Tiba-tiba
semuanya berhenti. Selesai. Gak ada pertemuan sama temen-temen di kelas, gak
ada aktivitas mengisi waktu luang. Selesai. Gue merasa kosong dan bingung.
Beberapa bulan
setelahnya, gue mulai mengisi kekosongan dengan membuat lamaran. Gue mulai
mempersiapkan diri untuk bersaing. Karena gue berasal dari jurusan pendidikan,
tentu aja tujuan gue yaitu melamar ke sekolah dasar. Gue bertanya sama berbagai
sumber tentang lowongan di sd, tapi nihil. Gak ada informasi yang jelas. Gue lalu
mendatangi instansi pendidikan, hasilnya tetap sama. Gue ditolak.
Perasaan sedih
tiba-tiba memuncak, merasa bodoh dan nggak berguna. Perasaan sakit hati, yang
lebih sakit dibanding bolak-balik ketemu dan dimarahi dosen. Perasaan putus asa
yang lebih dalam dibanding dimaki-maki dosen ketika sidang skripisi. Perasaan itu,
membuat gue takut, membuat gue menangis sendirian dalam waktu yang lama.
Hari ini,
genap lima bulan setelah wisuda. Gue mulai bangkit dari perasaan terpuruk. Mencoba
memotivasi diri sendiri dan melakukan berbagai hal untuk mengisi kekosongan. Gue
juga kembali berusaha, karena perasaan putus asa hanya hadir bagi mereka yang
lemah. Dan gue bukan orangnya. Gue tahu, gue kuat dan mampu untuk meraih
impian-impian itu. Gue akan terus berusaha, dan dengan diiringi doa tentunya.
Sekarang,
gue paham, wisuda bukan akhir segalanya, melainkan awal dari gerbang kehidupan
sesungguhnya. Ketangguhan diri itu harus kita tempa saat kuliah, karena
setelahnya, kita bahkan harus lebih kuat dari yang pernah dibayangkan.
Sekian.
Jakarta, 3 Januari
2019