Sabtu, 16 Maret 2024
SUMMER IN JAPAN PART II
Senin, 11 Maret 2024
YOGYAKARTA DI PENGHUJUNG TAHUN 2023
Yogyakarta.
Lagi-lagi kota itulah yang terbersit dalam pikiranku untuk menghabiskan waktu libur semester. Sudah lama rasanya tak mengunjungi kota gudeg itu. Aku ingat, terakhir kali kakiku sampai di Stasiun Lempuyangan adalah tahun 2019. Kala itu, aku berlibur bersama Ita dan menginap di rumah salah satu temannya.
Di akhir tahun 2023, aku pun memutuskan untuk menuntaskan rindu pada kota yang selalu membuat nyaman hatiku. Kota pertama yang kudatangi melalui perjalanan panjang sendirian. Kota yang kemudian kudatangi lagi bersama teman-teman bidikmisi. Kota yang pernah mempertemukanku dengan seseorang. Kota yang istimewa.
Pertengahan tahun 2023, aku dan guru-guru di sekolah mulai merencanakan perjalanan ini. Setelah memesan tiket KA Bengawan, kami pun mulai merencanakan tujuan wisata yang akan didatangi selama di Yogya. Kebetulan, salah satu rekan guru di sekolah mempunyai rumah di daerah Bantul, sehingga kami bisa menghemat pengeluaran. Alhamdulillah.
Ya, pada perjalanan kali ini, aku pergi bersama rekan-rekan guru di sekolah yang berjumlah kurang lebih 14 orang. Yang lainnya berencana menyewa sebuah mobil elf untuk membawa mereka berjalan-jalan. Sedangkan aku, memutuskan menyewa trijek (ojek motor). Berkali-kali mereka membujukku agar ikut di mobil saja, namun, aku paling tahu tentang kondisi dan keterbatasanku. Jadi, aku menjelaskan dan tidak ingin merusak perjalanan karena kondisiku yang mabuk darat. Sebenarnya agak malu menjelaskan dan mengulang-ulang penjelasan ini. Ada yang tak percaya, sebab aku pernah ke luar negeri. Ada yang mengatakan belum terbiasa karena belum punya mobil sendiri. Aku hanya tersenyum, apapun itu aku terima.
Selama di Yogya, ada beberapa tempat wisata yang ingin aku tuju. Sayangnya, ada beberapa tempat yang sulit diakses menggunakan mobil. Jadi, aku berpisah dari rombongan dan hanya pergi bersama Mbak Tri (pengendara trijek yang aku sewa). Aku tentu tidak keberatan, karena aku sudah terbiasa pergi sendiri. It's fine. Gwencahana~
Hari Keberangkatan
Minggu, 17 Desember 2023
Pagi-pagi sekali, Bapak mengantarku ke Stasiun Pasar Senen. Dengan menaiki motor tuanya, Bapak tidak pernah lelah mengantar dan menjemputku. Aku ingat, saat pergi ke Yogya bersama teman-teman bidikmisi, Bapak juga yang mengantarku ke stasiun. Tak terhitung banyaknya perjalanan yang diantar atau dijemput oleh Bapak. Terima kasih, Pak, karena selalu bersedia.
Aku sampai di stasiun sekitar jam 6 pagi, segera mencetak tiket dan bersama-sama masuk ke dalam kereta Bengawan dan bersiap meninggalkan hiruk-pikuk kota Jakarta.
Delapan jam perjalanan di KA Bengawan tidak membuatku bosan, mungkin karena aku pergi bersama guru-guru, sehingga selalu ada bahan obrolan sepanjang perjalanan. Aku juga merasa nyaman, walau KA Bengawan memiliki kursi yang tegak, aku sama sekali tidak merasa mual atau pusing. Lain halnya ketika menaiki kereta eksekutif, aku justru merasa pusing. Aneh sekali bukan? Mungkin aku yang terlalu kampungan. Haha
Pukul 14.00 WIB kami telah tiba di Stasiun Lempuyangan.
Aku dan teman-teman dijemput oleh saudara Bu Sumarmi dan segera memboyong kami ke Bantul. Ternyata, jarak dari Kota Yogya ke Bantul lumayan jauh, karena itu aku memutuskan naik ojek motor, aku benar-benar takut mual jika naik mobil dalam jarak yang jauh.
Setelah melalui perjalanan panjang, akhirnya kami sampai juga di Bantul. Aku disambut oleh gudeg dan krecek, makanan favoritku. Setelah makan, kami segera membersihkan diri dan beristirahat untuk perjalanan esok.
Senin, 18 Desember 2023
Pagi-pagi sekali aku sudah membuka mata dan mempersiapkan diri. Aku sangat bersemangat, karena sudah menyiapkan beberapa tempat wisata yang akan kudatangi. Salah satunya adalah Pantai Wohkudu. Aku sudah sangat lama ingin mengunjungi pantai ini dan sering melihatnya di sosial media.
Jam 7 pagi, Mbak Tri dengan motornya sudah menjemputku. Perjalanan ini dimulai~
Tempat pertama yang kukunjungi adalah Pantai Wohkudu. Ya, wishlist pertama dan utamaku.
Perjalanan menuju Pantai Wohkudu bisa dibilang cukup sulit, setelah melalui perjalan panjang dan melewati jalan berliku yang naik-turun, kami sampai di tempat parkir motor. Selanjutnya, kami harus turun melewati jalan berbatu dan terjal dan harus jalan kaki! Kami juga harus berhati-hati karena batu-batu itu kadang tajam. Walau hanya 15 menit berjalan kaki, cukup membuat kakiku lelah. Mungkin karena aku juga jarang berolahraga.
Tapi sungguh, pemandangan dan keindahan Pantai Wohkudu membayar semua rasa lelah itu.
Keindahan Pantai Wohkudu |
Itu adalah pertama kalinya aku melihat sesuatu yang indah, seindah yang biasa kulihat di media sosial. Seringnya, aku kecewa karena tempat asli tidak sesuai ekspektasi. Tapi, pantai wohkudu lebih indah aslinya dibandingkan semua foto dan video yang pernah kulihat.
Cantiknya |
Pantai dengan pasir putih yang membentang luas, batu karang kokoh yang memecah ombak, cekungan air yang disinggahi ikan warna-warni juga makhluk hidup lain yang unik. Ditambah suasana sepi, membuat pantai itu serasa menjadi pantai pribadi. Aku puas memandangi ombak, main pasir dan membentuknya menjadi karakter-karakter lucu, berfoto juga membuat video di ayunan yang ada di pinggir pantai.
Bermain pasir |
Di sekitar pantai juga masih terdapat hutan dan banyak monyet liar yang berkeliaran. Benar-benar sangat alami dan menyenangkan berada di sana. Setelah selesai mengabadikan momen, aku singgah di warung di pinggir pantai, meminum es teh manis, lalu melanjutkan perjalanan.
Tempat kedua yang kudatangi yaitu Pantai Kesirat.
Pantai ini terletak tidak jauh dari Pantai Wohkudu, namun di pantai ini tidak terdapat pasir. Tempat ini biasanya digunakan untuk memancing dan menikmati matahari terbit atau terbenam. Sebenarnya, agak kurang cocok didatangi apalagi di sing hari. Tapi, daripada tidak sama sekali, aku memilih untuk mendatanginya.
Berfoto bersama ikon Pantai Kesirat |
Laut dan langit yang bersatu |
Meski tidak datang di waktu yang tepat, Pantai Kesirat tetap menakjubkan di mataku. Bisa melihat laut dari ketinggian, berpadu dengan langit yang biru. Laut yang luas seakan tak berujung bersanding dengan megahnya langit siang itu. Sebuah jalan setapak terlihat mengular menuju orang-orang yang sedang memancing. Karena siang itu terlalu panas, aku memutuskan tidak terlalu lama di Pantai Kesirat. Setelah puas memandangi lautan, mengambil beberapa foto dan beristirahat di warung pinggir pantai, kami memutuskan melanjutkan perjalanan.
Sekitar jam 1 siang, aku sudah sampai di tempat ketiga, yaitu Teras Kaca.
Sebenarnya, di Teras Kaca ini tidak banyak yang kulakukan. Aku mendatangi tempat ini, karena Teras Kaca menjadi meeting point bersama rekan-rekan guru. Kami bertemu, makan siang bersama dan berfoto. Di teras kaca, spot foto yang kunaiki adalah Ayunan yang menuju ke laut. Meski cukup mahal, tapi aku merasa puas menikmati sensasi memacu adrenalin, berayun di ketinggian.
Takut tapi seru! |
Hari sudah semakin sore, aku pun menuju daftar terakhir dalam perjalanan ini : Puncak Segoro.
Tangga menuju restoran |
Puncak Segoro jam 3 sore |
Puncak Segoro adalah tempat yang cukup viral di Yogya. Sebenarnya, tempat ini adalah restoran yang menempel pada dinding tebing. Di bawahnya, kita langsung disajikan pemandangan laut yang luas. Karena penasaran, aku pun mendatangi tempat viral ini. Harga masuknya sekitar 50 ribu, itu pun sudah termasuk voucher makan. Meski makanan di sini tidak terlalu enak, tapi tak apa, karena sejak awal aku hanya ingin menikmati pemandangannya saja. Katanya, waktu terbaik mendatangi tempat ini adalah sore hari, saat matahari mulai terbenam. Namun, sepertinya, lagi-lagi aku tidak datang di waktu yang tepat, karena saat itu baru pukul 3 sore.
Puncak Segoro seperti namanya, ada di ketinggian. Di tempat ini, aku lebih banyak duduk, istirahat dan mengobrol dengan mbak Tri. Aku juga melihat beberapa kapal nelayan yang sedang mencari ikan. Kapan nelayan terlihat sangat kecil dari atas sini. Ia terombang-ambing di lautan lepas. Ombak yang tidak selalu tenang membuat kapal terus bergerak, kadang terlihat seperti akan tenggelam. Tapi ajaibnya, para nelayan tetap berani menerjang laut lepas. Dengan keseimbangan yang hebat, aku melihat mereka berdiri di atas kapal kayu yang bergoyang-goyang diterpa ombak. Aku membayangkan betapa menakutkannya itu. Mereka mempertaruhkan hidup untuk menyambung hidup demi keluarganya.
Laut yang tak berujung tak membuat mereka gentar, ombak yang menerjang tak membuat mereka mundur, bahkan jika hasil laut tak begitu banyak dan hanya terjual murah, mereka tetap berlayar.
Aku jadi berpikir, apakah hidup ini seperti perjalanan para nelayan?
Kita menjalani hari-hari yang penuh kemungkinan, entah itu baik atau buruk. Masa depan yang luas selalu menanti di depan mata, tapi kita tak boleh takut menghadapinya. Kadang ada saat kita merasa ombak itu terlalu keras dan membuat kita goyah, tapi kita harus tetap menjaga keseimbangan dan bertahan, karena pada akhirnya kita akan memperoleh hasil dari semua usaha itu. Ketakutan yang sebelumnya kurasakan tentang hidup, berubah menjadi kepasrahan pada ketetapan-Nya. Apapun yang terjadi dalam hidup ini, bukankah sudah ada yang mengatur? Bahkan sehelai daun pun tidak akan jatuh tanpa izin Allah SWT, jadi kenapa kita harus takut menghadapi hari esok yang penuh kemungkinan?
Aku merasa amat bersyukur hari itu. Bukan bersyukur karena pekerjaanku lebih mudah dari para nelayan, tapi bersyukur karena ada satu pelajaran dari perjalanan ini.
Puncak Segoro menjadi tempat terakhir yang aku kunjungi sebelum akhirnya kembali pulang ke Bantul.
Selasa, 19 Desember 2023
Aku akan menceritakannya di postingan yang lain ^^