Sepotong surat (29 April 2016)
Sebuah permintaan maaf
Dear, kamu
Tak ada yang pantas kuucapkan
selain, maaf. Maaf membuatmu menunggu. Maaf membuatmu berlelah, dan tak kutemui
kamu di siang itu. Mungkin permintaan maaf ini sedikit terlambat. Atau mungkin saja
benar-benar sangat terlambat, tapi, izinkanlah aku untuk tetap menyampaikannya,
karena bagaimanapun, perasaan bersalah akan tetap singgah sebelum permintaan
ini kamu terima.
Sungguh, kamu pasti akan
mengira bahwa aku adalah manusia yang tidak memiliki hati untuk menghargai
perjuangan kerasmu mencari alamat tempat singgahku. Bertanya pada seluruh
kenalanmu, mencari di peta elektronik dan lain sebagainya. Setelah
menemukannya, kamu pun kembali berlelah. Berkendara dalam jarak yang tak dekat,
dengan satu tujuan: menemuiku.
Dan mungkin kamu benar, aku
memang tak memiliki hati, karena ketika kamu sampai di sana, ketika kamu
melakukan panggilan ke ponselku, aku mengabaikannya. Tak kupedulikan seluruh
perjuangan dan pengorbanan serta rasa lelahmu. Kubiarkan panas dan amarah
membakar hatimu siang itu. Kuabaikan pesan dan panggilan masuk darimu. Ah, iya
kan, betapa kejamnya aku, betapa jahatnya aku.
Sampai detik ini pun sungguh
aku tak mengerti mengapa aku bisa bersikap sekejam itu padamu. Kamu yang
kukenal sangat baik padaku. Sungguh maafkan aku. Maaf atas sikapku yang
semena-mena dan tak mempedulikanmu. Maaf.
Jika kamu menuntut suatu
penjelasan atas sikapku, mungkin, aku bisa memberikan alasan logis atas hal
itu.
Pertama, aku tak ingin bertemu
denganmu. Mengapa? Karena pertemuan adalah racun paling mematikan yang bisa
membuatku terus terngiang, kemudian berharap lebih padamu.
Kedua, aku tak ingin
berbincang lebih lama denganmu. Mengapa? Karena obrolan yang dilakukan secara
langsung, kutakut akan melukai cinta yang sedang kujaga untuk lelaki yang kelak
akan menjadi pendamping hidupku selamanya.
Ketiga, aku tak ingin
menatapmu secara langsung. Mengapa? Karena aku takut, wajahmu menjadi
bayang-bayang dalam tidurku. Sungguh, aku takut.
Itulah yang tak kuinginkan
dalam sebuah pertemuan.
Pun akhirnya, kita tetap bertemu.
Bertatap secara langsung. Berbicara secara langsung dan aku kuasa menatap
wajahmu secara langsung. Ternyata, yang kutakutkan tak pernah terjadi. Mungkin,
itu hanya ketakutanku saja. Jadi, sekali lagi kukatakan. Maaf. Maafkan aku.
Dengan segala pengakuan
bersalah, kuucapkan entah untuk yang keberapa kali. Maaf. Maafkan aku, teman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar