Selasa, 03 Oktober 2017

Sebuah Permintaan Maaf

Sepotong surat (29 April 2016)

Sebuah permintaan maaf


Dear, kamu
Tak ada yang pantas kuucapkan selain, maaf. Maaf membuatmu menunggu. Maaf membuatmu berlelah, dan tak kutemui kamu di siang itu. Mungkin permintaan maaf ini sedikit terlambat. Atau mungkin saja benar-benar sangat terlambat, tapi, izinkanlah aku untuk tetap menyampaikannya, karena bagaimanapun, perasaan bersalah akan tetap singgah sebelum permintaan ini kamu terima.
Sungguh, kamu pasti akan mengira bahwa aku adalah manusia yang tidak memiliki hati untuk menghargai perjuangan kerasmu mencari alamat tempat singgahku. Bertanya pada seluruh kenalanmu, mencari di peta elektronik dan lain sebagainya. Setelah menemukannya, kamu pun kembali berlelah. Berkendara dalam jarak yang tak dekat, dengan satu tujuan: menemuiku.
Dan mungkin kamu benar, aku memang tak memiliki hati, karena ketika kamu sampai di sana, ketika kamu melakukan panggilan ke ponselku, aku mengabaikannya. Tak kupedulikan seluruh perjuangan dan pengorbanan serta rasa lelahmu. Kubiarkan panas dan amarah membakar hatimu siang itu. Kuabaikan pesan dan panggilan masuk darimu. Ah, iya kan, betapa kejamnya aku, betapa jahatnya aku.
Sampai detik ini pun sungguh aku tak mengerti mengapa aku bisa bersikap sekejam itu padamu. Kamu yang kukenal sangat baik padaku. Sungguh maafkan aku. Maaf atas sikapku yang semena-mena dan tak mempedulikanmu. Maaf.
Jika kamu menuntut suatu penjelasan atas sikapku, mungkin, aku bisa memberikan alasan logis atas hal itu.
Pertama, aku tak ingin bertemu denganmu. Mengapa? Karena pertemuan adalah racun paling mematikan yang bisa membuatku terus terngiang, kemudian berharap lebih padamu.
Kedua, aku tak ingin berbincang lebih lama denganmu. Mengapa? Karena obrolan yang dilakukan secara langsung, kutakut akan melukai cinta yang sedang kujaga untuk lelaki yang kelak akan menjadi pendamping hidupku selamanya.
Ketiga, aku tak ingin menatapmu secara langsung. Mengapa? Karena aku takut, wajahmu menjadi bayang-bayang dalam tidurku. Sungguh, aku takut.
Itulah yang tak kuinginkan dalam sebuah pertemuan.
Pun akhirnya, kita tetap bertemu. Bertatap secara langsung. Berbicara secara langsung dan aku kuasa menatap wajahmu secara langsung. Ternyata, yang kutakutkan tak pernah terjadi. Mungkin, itu hanya ketakutanku saja. Jadi, sekali lagi kukatakan. Maaf. Maafkan aku.

Dengan segala pengakuan bersalah, kuucapkan entah untuk yang keberapa kali. Maaf. Maafkan aku, teman.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar