Rabu, 29 November 2017

KERETA PUKUL TUJUH

Kereta Pukul Tujuh
Oleh: Shannia Elmira
 (Keterangan: Cerpen ini dimuat dalam Majalah Taman Fiksi Edisi 13)

sumber: google

Kamu terlambat. Kereta commuter line tujuan Bogor sudah berangkat. Empat menit lima puluh sembilan detik sebelum langkahmu genap di gerbang Stasiun Rajawali. Napasmu tersengal-sengal. Wajahmu yang putih terlihat kian memerah karena lelah. Kamu pasti mengerahkan seluruh tenaga untuk sampai tepat waktu. Tapi, lagi-lagi kamu gagal. Kamu terlambat.
Seketika, semburat kecewa terlukis di garis wajah. Kamu menyalahkan diri sendiri, karena tak membuka mata sebelum ayam jantan berkokok. Kamu menyalahkan jalanan sesak Ibu Kota yang menjegal roda motor Ayah – yang mengantarmu setiap pagi ke stasiun tanpa upah. Dan kini, kamu pun menyalahkan kereta itu yang berlalu tanpa kamu di dalamnya. Air mata menggatung di pelupuk mata.
Kecewamu terlalu berlebihan. Ingat! Kamu bukan penumpang kereta antar kota yang telah membeli selembar tiket. Yang jika terlambat semenit, tiketnya hangus tak berlaku. Bukan. Kamu hanya satu di antara jutaan manusia yang tiap pagi berdesakan di KRL jabodetabek. Kereta yang hampir tiap sepuluh menit datang lagi, lagi dan lagi. Tenanglah, kamu tak akan kehabisan. Tiketmu tak akan hangus.
“Stasiun Sudirman,” ujarmu di depan loket sambil menyerahkan beberapa lembar uang kertas. Dengan segera, uang kertasmu berubah wujud menjadi sebuah kartu kecil, seukuran kartu tanda pengenal yang selalu kamu sematkan di dalam dompet.
Di antara riak rasa kecewa, kamu tetap masuk ke dalam stasiun, menyeberang ke jalur dua dan duduk di salah satu kursi yang kosong (tentu saja, karena kamu memang selalu menghindar dari keramaian) dan menunggu kereta selanjutnya datang. Kereta pertama yang kautemui pagi ini.
Berkali-kali kamu melirikku. Sedikitpun aku tak dapat lepas dari pandangan sedih milikmu. Kamu mengikatku terlalu keras, sampai aku tak bisa beralih pandang. Mau tak mau, aku melihatnya, kegelisahan terpancar jelas di sana. Selanjutnya, sepasang matamu memandang lurus ke arah utara, menantikan kehadiran si kuda besi. Bagimu, menanti tentu bukan hal yang baru, selama ini kamu sudah terbiasa menanti. Melewatkan perputaran jarum panjang dan pendek, juga pergantian musim dan tahun dalam kesendirian yang menggigit. Sayangnya, penantian kali ini tak seperti biasa.
“Kamu terlambat... lagi?” lontaran pertanyaan yang tiba-tiba membuat kamu menoleh.
Beberapa detik bibirmu terkunci rapat. Penglihatanmu diisi oleh wajah seorang lelaki muda berkulit putih dengan rambut bergelombang. “Aku sudah bangun lebih awal,” jawabmu penuh kesungguhan.
“Kamu tidak tahu berapa jarak yang harus kutempuh untuk sampai ke stasiun ini,” katamu lagi, kali ini dengan mendengus kesal. 
“Setiap orang memiliki jalan juangnya masing-masing, lain kali kamu harus lebih pagi... jika tak ingin terlambat dan menaiki kereta pukul tujuh,” tukas pemuda di hadapanmu seraya berlalu.
Tak lama, pengumuman yang berisi informasi kereta mengisi gendang telingamu.
Kereta tujuan Bogor akan segera memasuki Stasiun Rajawali.
Kamu pun bersiap. Merapikan diri, bangkit dari kursi dan berdiri tepat di belakang garis kuning.
“Besok adalah kesempatan terakhir, pastikan kamu naik kereta pukul tujuh.” Laki-laki itu kembali mengejutkanmu. Kehadirannya selalu membuat raut mukamu berubah.
Aku ingat, pertama kali kamu bertemu dengannya di Stasiun Sudirman. Ketika itu, kamu sedang duduk. Sendirian. Wajahmu terlihat pucat. Tenagamu seakan terkuras habis, bukan karena tak dapat duduk sejak stasiun pertama hingga stasiun terakhir, bukan pula karena berdesakan dengan penumpang, apalagi  karena pendingin kereta yang tak berfungsi. Tentu saja bukan, karena hal itu adalah hal biasa yang kerap kau alami setiap berangkat ke kampus. Aku tahu, kakimu lemas karena baru saja menemukan wajah itu. Wajah seorang lelaki yang sudah kamu cintai sejak duduk di kelas 5 Sekolah Dasar. 
Semangatmu yang membara tiba-tiba padam. Aku dapat melihatnya dengan jelas, karena setelah memandangi punggungnya yang mulai membaur dengan puluhan orang, kamu menatapku. Sendu. Raut penyesalan bertebaran di garis wajah. Terutama bibirmu yang merah. 
“Bodoh! Kenapa tadi aku tidak memanggilnya! Aku terlambat,” sesalmu.
“Kamu masih punya kesempatan.”
Kamu menoleh dan mendapati seorang laki-laki dengan kemeja putih, celana putih, topi putih dan membawa tas ransel besar yang lagi-lagi berwarna putih. Kamu mengamatinya sebentar. Memicingkan mata. Lalu, bersiap bangkit dari kursi. Kamu tak pernah percaya pada orang asing. Apalagi, di kota besar seperti ini. Bisa jadi, ia seorang teroris yang mencoba melakukan aksi bom bunuh diri. Meledakkan stasiun, misalnya. Kamu pun bergegas, tapi, sebelum kakimu melangkah, dia sudah menghadangmu di depan. Kamu hendak membuka mulut dan meminta pertolongan, namun, dia yang lebih dulu menggerakkan bibirnya.
“Dia naik kereta dari Stasiun Manggarai. Jika kamu naik kereta pukul tujuh dari Stasiun Rajawali, maka kamu akan menemuinya di stasiun ini. Kamu punya kesempatan untuk bicara sedikit dengannya. Dan mungkin saja, saat itu aku berbaik hati untuk melesatkan apa yang kupunya di dalam tas ini.”
“Siapa kamu?” kamu bertanya. Dadamu berdebar aneh.  
“My name is Love.[1]”   
Dahimu berkerut. Kebingungan menjalar di pikiran. Sejenak, kamu menatapnya dengan tatapan aneh dan ngeri. “Maaf, saya buru-buru!” Kamu ingin segera lenyap dari hadapannya. Kakimu melangkah terburu, menghindari lelaki aneh itu. Namun, setelah lima kali melangkah, kamu berhenti. Tubuhmu berbalik. Kembali mencari sosok itu.
“Love?” gumammu penuh tanya.
Tiba-tiba, senyum mengembang di pipi. Rautmu yang penuh keanehan mendadak ceria dan penuh sinar. Kurasa, kamu mengingat sesuatu. Sesuatu yang sampai membuatmu berubah pikiran dan kembali.
“Love. Love. Love.” Kamu semakin menceracau sambil memandang ke segala arah. Ah, mengapa aku baru ingat. Padahal, kamu sering sekali mengulang kata-kata itu. Love adalah nama panggilan seseorang yang kamu tonton dalam film layar lebar beberapa tahun lalu. Ya, Love adalah nama seorang peri cinta yang ditugaskan memanah hati anak Adam dan Hawa. Sekarang, aku mengerti, mengapa langkahmu memilih kembali.
Kamu telah melawan arus dan kembali ke tempat semula. Ke kursi yang mulanya kamu isi sendirian. Sayangnya, pemuda yang beberapa menit lalu menjegal langkahmu sudah tak ada. Ia hilang bersama keramaian. Kamu lalu menatapku, dengan tatapan yang kembali sendu. Kepergian selalu mencipta layar tipis di matamu.
“Sudah terlambat. Kali ini, aku benar-benar terlambat,” katamu nyaris putus asa.
Kamu menarik napas dalam. Ekor matamu mendadak tertuju pada secarik kertas putih yang tergeletak tak berdaya di kursi. Tanganmu segera menyambarnya.
“Tiga kesempatan! Kereta pukul tujuh!” serumu riang, penuh harap.
***
Kamu menjalani hari ini dengan lesu. Sepertinya, tak ada sedikitpun materi kuliah yang singgah di otakmu. Semuanya hanya serupa layar semu yang kamu saksikan, lalu kamu matikan. Aku mengerti, keterlambatan itu membuatmu putus asa. Kamu seperti kehilangan cahaya di malam gulita. Tiga lilin yang kau jaga, kini padam keduanya.  
“Satu kesempatan lagi. Aku harus naik kereta pukul tujuh!” tekadmu kuat. Matamu terlihat menyala-nyala seperti ada kobaran api di dalamnya. Semoga. Semoga kali ini kamu beruntung dan akan menaiki kereta pukul tujuh. Kali ini, aku berdoa tulus untukmu.
Dua kesempatan telah terlewatkan. Kamu telah menyia-nyiakan kesempatan untuk bertemu muka dengan pangeran hatimu sebanyak dua kali. Aku mafhum, kamu pasti menyesal dan merutuki keadaan pagi ini. Maka, bukan suatu kesalahan jika kamu mulai berhenti tak percaya padaku. Kamu mulai tak memandangku, bahkan lebih memilih bertanya ketimbang melihat. Apa bedanya? Aku masih aku yang dulu. Yang setia memutarkan detik, mengubahnya dalam menit dan jam yang panjang.
“Besok kupastikan, aku akan naik kereta pukul tujuh!”
***
Hari ini, kamu bangun sangat awal. Dua jam sebelum adzan subuh berkumandang, kamu sudah siap. Mengenakan kemeja biru, celana jeans dan bandana merah muda yang membuatmu terlihat modis. Senyum bahagia terpancar di sana, senyum yang penuh keyakinan dan kemenangan. Ya, aku mengerti, kamu sudah bertekad untuk tak terlambat, bukan?
“Aku berangkat sendiri aja, Pak,” katamu beberapa saat kemudian.
Lelaki berusia senja dengan rambut berwarna putih bak kejatuhan putik bunga jambu memerhatikanmu lekat. “Ini masih jam tiga pagi, nduk,” katanya seolah mencegah niatmu untuk naik kereta pukul tujuh.
“Iya, aku nggak boleh terlambat hari ini, Pak.” Kamu merangkai alasan dengan rapi. Meski begitu, orang tuamu terlihat berat untuk memberimu izin berangkat kuliah dini hari.
“Nanti aja, diantar sama Bapak.”
“Enggak usah, Pak, aku bisa sendiri kok.” Kamu bersikeras keluar rumah di pagi-pagi buta. Hingga, lelaki itu menyerah dan membiarkanmu melangkah meninggalkan rumah.
***
Sudah satu jam lebih tiga puluh menit kamu mematung di sisi jalan, menunggu angkutan kota bernomor kosong dua yang akan mengantarkanmu ke muka stasiun. Tapi nihil. Jalanan terlihat sangat lengang. Kamu bahkan bisa berlarian di tengah jalan tanpa takut tertabrak, karena memang, tak ada satu pun kendaraan yang lewat. Hanya cahaya lampu temaram, yang hampir padam, menemani kesendirianmu.
Kamu melirikku sebentar, lalu mulai merutuki lambannya dunia ini. Wajahmu terlihat semakin resah ketika mentari mulai menyembul dari arah timur.
“Bagaimana jika aku terlambat lagi?” kamu bertanya dengan nada ketakutan.
Hingga pada ujung penantian. Sebuah mobil berwarna merah dengan nomor kosong tiga di atasnya berhenti tepat di depanmu. Kamu kecewa, karena memang bukan itu yang sedang kamu tunggu. Kakimu masih diam tempat, namun tiba-tiba, tiga orang lelaki paruh baya menarik lenganmu dan memaksamu masuk ke dalam mobil itu. Kamu menjerit sekeras mungkin. Tubuhmu berontak dengan sepenuh tenaga, tapi dua orang dari mereka memegang lenganmu kencang, dan satunya lagi... lelaki satunya membuka sebuah kotak dan mengeluarkan benda rumah sakit berujung tajam. Jarum suntik!
Wajahmu terlihat sangat tegang dan ketakutan.
“Lepaskan! Lepaskan aku!” itulah teriakan terakhir, sebelum akhirnya matamu terkatup.
***
Kamu terbangun dengan kepala amat berat. Matamu berkejap-kejap. Pening seperti menghalangi penglihatanmu.
“Hah! Di mana aku?! Kereta! Kereta pukul tujuh, aku harus naik kereta pukul tujuh!” teriakmu dengan nada tinggi sambil menggedor pintu bercat putih yang membuatmu tak bisa lari.
Tak lama, dua lelaki paruh baya yang tadi kau temui di angkutan umum membuka pintu.
“Saya harus pergi, Pak. Saya harus naik kereta pukul tujuh. Saya mohon, Pak.” Kamu memelas. Tapi, seakan tak punya belas kasih. Mereka malah menggeret lenganmu dan mengikat tangan serta kakimu di atas ranjang. Tak lama, sebuah jarun suntik menembus kulit putihmu. Lagi-lagi, kamu pun terlelap.
“Kasihan ya, dia masih muda, cantik, tapi harus berakhir di bangsal rumah sakit ini.”
“Kata Dokter Riyan, otaknya mulai tidak waras sejak kehilangan pujaan hatinya. Pria yang disukainya meninggal dalam kecelakaan maut antara kereta dan mini bus. Tepat pukul tujuh.”
- SELESAI -




[1] Diambil dari film Thailand berjudul “My Name is Love”