Kereta Pukul Tujuh
Oleh:
Shannia Elmira
sumber: google
Kamu
terlambat. Kereta commuter line tujuan
Bogor sudah berangkat. Empat menit lima puluh sembilan detik sebelum langkahmu
genap di gerbang Stasiun Rajawali. Napasmu tersengal-sengal. Wajahmu yang putih
terlihat kian memerah karena lelah. Kamu pasti mengerahkan seluruh tenaga untuk
sampai tepat waktu. Tapi, lagi-lagi kamu gagal. Kamu terlambat.
Seketika,
semburat kecewa terlukis di garis wajah. Kamu menyalahkan diri sendiri, karena
tak membuka mata sebelum ayam jantan berkokok. Kamu menyalahkan jalanan sesak
Ibu Kota yang menjegal roda motor Ayah – yang mengantarmu setiap pagi ke
stasiun tanpa upah. Dan kini, kamu pun menyalahkan kereta itu yang berlalu
tanpa kamu di dalamnya. Air mata menggatung di pelupuk mata.
Kecewamu
terlalu berlebihan. Ingat! Kamu bukan penumpang kereta antar kota yang telah
membeli selembar tiket. Yang jika terlambat semenit, tiketnya hangus tak
berlaku. Bukan. Kamu hanya satu di antara jutaan manusia yang tiap pagi
berdesakan di KRL jabodetabek. Kereta yang hampir tiap sepuluh menit datang
lagi, lagi dan lagi. Tenanglah, kamu tak akan kehabisan. Tiketmu tak akan
hangus.
“Stasiun
Sudirman,” ujarmu di depan loket sambil menyerahkan beberapa lembar uang
kertas. Dengan segera, uang kertasmu berubah wujud menjadi sebuah kartu kecil,
seukuran kartu tanda pengenal yang selalu kamu sematkan di dalam dompet.
Di
antara riak rasa kecewa, kamu tetap masuk ke dalam stasiun, menyeberang ke
jalur dua dan duduk di salah satu kursi yang kosong (tentu saja, karena kamu
memang selalu menghindar dari keramaian) dan menunggu kereta selanjutnya datang.
Kereta pertama yang kautemui pagi ini.
Berkali-kali
kamu melirikku. Sedikitpun aku tak dapat lepas dari pandangan sedih milikmu. Kamu
mengikatku terlalu keras, sampai aku tak bisa beralih pandang. Mau tak mau, aku
melihatnya, kegelisahan terpancar jelas di sana. Selanjutnya, sepasang matamu
memandang lurus ke arah utara, menantikan kehadiran si kuda besi. Bagimu,
menanti tentu bukan hal yang baru, selama ini kamu sudah terbiasa menanti.
Melewatkan perputaran jarum panjang dan pendek, juga pergantian musim dan tahun
dalam kesendirian yang menggigit. Sayangnya, penantian kali ini tak seperti
biasa.
“Kamu
terlambat... lagi?” lontaran pertanyaan yang tiba-tiba membuat kamu menoleh.
Beberapa
detik bibirmu terkunci rapat. Penglihatanmu diisi oleh wajah seorang lelaki
muda berkulit putih dengan rambut bergelombang. “Aku sudah bangun lebih awal,”
jawabmu penuh kesungguhan.
“Kamu
tidak tahu berapa jarak yang harus kutempuh untuk sampai ke stasiun ini,”
katamu lagi, kali ini dengan mendengus kesal.
“Setiap
orang memiliki jalan juangnya masing-masing, lain kali kamu harus lebih pagi...
jika tak ingin terlambat dan menaiki kereta pukul tujuh,” tukas pemuda di
hadapanmu seraya berlalu.
Tak
lama, pengumuman yang berisi informasi kereta mengisi gendang telingamu.
Kereta tujuan Bogor akan
segera memasuki Stasiun Rajawali.
Kamu
pun bersiap. Merapikan diri, bangkit dari kursi dan berdiri tepat di belakang garis
kuning.
“Besok
adalah kesempatan terakhir, pastikan kamu naik kereta pukul tujuh.” Laki-laki
itu kembali mengejutkanmu. Kehadirannya selalu membuat raut mukamu berubah.
Aku
ingat, pertama kali kamu bertemu dengannya di Stasiun Sudirman. Ketika itu, kamu
sedang duduk. Sendirian. Wajahmu terlihat pucat. Tenagamu seakan terkuras
habis, bukan karena tak dapat duduk sejak stasiun pertama hingga stasiun
terakhir, bukan pula karena berdesakan dengan penumpang, apalagi karena pendingin kereta yang tak berfungsi.
Tentu saja bukan, karena hal itu adalah hal biasa yang kerap kau alami setiap
berangkat ke kampus. Aku tahu, kakimu lemas karena baru saja menemukan wajah
itu. Wajah seorang lelaki yang sudah kamu cintai sejak duduk di kelas 5 Sekolah
Dasar.
Semangatmu
yang membara tiba-tiba padam. Aku dapat melihatnya dengan jelas, karena setelah
memandangi punggungnya yang mulai membaur dengan puluhan orang, kamu menatapku.
Sendu. Raut penyesalan bertebaran di garis wajah. Terutama bibirmu yang
merah.
“Bodoh!
Kenapa tadi aku tidak memanggilnya! Aku terlambat,” sesalmu.
“Kamu
masih punya kesempatan.”
Kamu
menoleh dan mendapati seorang laki-laki dengan kemeja putih, celana putih, topi
putih dan membawa tas ransel besar yang lagi-lagi berwarna putih. Kamu mengamatinya
sebentar. Memicingkan mata. Lalu, bersiap bangkit dari kursi. Kamu tak pernah
percaya pada orang asing. Apalagi, di kota besar seperti ini. Bisa jadi, ia
seorang teroris yang mencoba melakukan aksi bom bunuh diri. Meledakkan stasiun,
misalnya. Kamu pun bergegas, tapi, sebelum kakimu melangkah, dia sudah
menghadangmu di depan. Kamu hendak membuka mulut dan meminta pertolongan,
namun, dia yang lebih dulu menggerakkan bibirnya.
“Dia
naik kereta dari Stasiun Manggarai. Jika kamu naik kereta pukul tujuh dari Stasiun
Rajawali, maka kamu akan menemuinya di stasiun ini. Kamu punya kesempatan untuk
bicara sedikit dengannya. Dan mungkin saja, saat itu aku berbaik hati untuk melesatkan
apa yang kupunya di dalam tas ini.”
“Siapa
kamu?” kamu bertanya. Dadamu berdebar aneh.
“My
name is Love.[1]”
Dahimu
berkerut. Kebingungan menjalar di pikiran. Sejenak, kamu menatapnya dengan
tatapan aneh dan ngeri. “Maaf, saya buru-buru!” Kamu ingin segera lenyap dari
hadapannya. Kakimu melangkah terburu, menghindari lelaki aneh itu. Namun,
setelah lima kali melangkah, kamu berhenti. Tubuhmu berbalik. Kembali mencari
sosok itu.
“Love?”
gumammu penuh tanya.
Tiba-tiba,
senyum mengembang di pipi. Rautmu yang penuh keanehan mendadak ceria dan penuh
sinar. Kurasa, kamu mengingat sesuatu. Sesuatu yang sampai membuatmu berubah
pikiran dan kembali.
“Love.
Love. Love.” Kamu semakin menceracau sambil memandang ke segala arah. Ah,
mengapa aku baru ingat. Padahal, kamu sering sekali mengulang kata-kata itu. Love
adalah nama panggilan seseorang yang kamu tonton dalam film layar lebar
beberapa tahun lalu. Ya, Love adalah nama seorang peri cinta yang ditugaskan
memanah hati anak Adam dan Hawa. Sekarang, aku mengerti, mengapa langkahmu
memilih kembali.
Kamu
telah melawan arus dan kembali ke tempat semula. Ke kursi yang mulanya kamu isi
sendirian. Sayangnya, pemuda yang beberapa menit lalu menjegal langkahmu sudah
tak ada. Ia hilang bersama keramaian. Kamu lalu menatapku, dengan tatapan yang
kembali sendu. Kepergian selalu mencipta layar tipis di matamu.
“Sudah
terlambat. Kali ini, aku benar-benar terlambat,” katamu nyaris putus asa.
Kamu
menarik napas dalam. Ekor matamu mendadak tertuju pada secarik kertas putih
yang tergeletak tak berdaya di kursi. Tanganmu segera menyambarnya.
“Tiga
kesempatan! Kereta pukul tujuh!” serumu riang, penuh harap.
***
Kamu
menjalani hari ini dengan lesu. Sepertinya, tak ada sedikitpun materi kuliah
yang singgah di otakmu. Semuanya hanya serupa layar semu yang kamu saksikan,
lalu kamu matikan. Aku mengerti, keterlambatan itu membuatmu putus asa. Kamu
seperti kehilangan cahaya di malam gulita. Tiga lilin yang kau jaga, kini padam
keduanya.
“Satu
kesempatan lagi. Aku harus naik kereta pukul tujuh!” tekadmu kuat. Matamu terlihat
menyala-nyala seperti ada kobaran api di dalamnya. Semoga. Semoga kali ini kamu
beruntung dan akan menaiki kereta pukul tujuh. Kali ini, aku berdoa tulus
untukmu.
Dua
kesempatan telah terlewatkan. Kamu telah menyia-nyiakan kesempatan untuk
bertemu muka dengan pangeran hatimu sebanyak dua kali. Aku mafhum, kamu pasti
menyesal dan merutuki keadaan pagi ini. Maka, bukan suatu kesalahan jika kamu
mulai berhenti tak percaya padaku. Kamu mulai tak memandangku, bahkan lebih
memilih bertanya ketimbang melihat. Apa bedanya? Aku masih aku yang dulu. Yang
setia memutarkan detik, mengubahnya dalam menit dan jam yang panjang.
“Besok
kupastikan, aku akan naik kereta pukul tujuh!”
***
Hari
ini, kamu bangun sangat awal. Dua jam sebelum adzan subuh berkumandang, kamu sudah
siap. Mengenakan kemeja biru, celana jeans dan bandana merah muda yang membuatmu
terlihat modis. Senyum bahagia terpancar di sana, senyum yang penuh keyakinan
dan kemenangan. Ya, aku mengerti, kamu sudah bertekad untuk tak terlambat,
bukan?
“Aku
berangkat sendiri aja, Pak,” katamu beberapa saat kemudian.
Lelaki
berusia senja dengan rambut berwarna putih bak kejatuhan putik bunga jambu
memerhatikanmu lekat. “Ini masih jam tiga pagi, nduk,” katanya seolah mencegah
niatmu untuk naik kereta pukul tujuh.
“Iya,
aku nggak boleh terlambat hari ini, Pak.” Kamu merangkai alasan dengan rapi.
Meski begitu, orang tuamu terlihat berat untuk memberimu izin berangkat kuliah
dini hari.
“Nanti
aja, diantar sama Bapak.”
“Enggak
usah, Pak, aku bisa sendiri kok.” Kamu bersikeras keluar rumah di pagi-pagi
buta. Hingga, lelaki itu menyerah dan membiarkanmu melangkah meninggalkan
rumah.
***
Sudah
satu jam lebih tiga puluh menit kamu mematung di sisi jalan, menunggu angkutan
kota bernomor kosong dua yang akan mengantarkanmu ke muka stasiun. Tapi nihil.
Jalanan terlihat sangat lengang. Kamu bahkan bisa berlarian di tengah jalan
tanpa takut tertabrak, karena memang, tak ada satu pun kendaraan yang lewat.
Hanya cahaya lampu temaram, yang hampir padam, menemani kesendirianmu.
Kamu
melirikku sebentar, lalu mulai merutuki lambannya dunia ini. Wajahmu terlihat
semakin resah ketika mentari mulai menyembul dari arah timur.
“Bagaimana
jika aku terlambat lagi?” kamu bertanya dengan nada ketakutan.
Hingga
pada ujung penantian. Sebuah mobil berwarna merah dengan nomor kosong tiga di
atasnya berhenti tepat di depanmu. Kamu kecewa, karena memang bukan itu yang
sedang kamu tunggu. Kakimu masih diam tempat, namun tiba-tiba, tiga orang
lelaki paruh baya menarik lenganmu dan memaksamu masuk ke dalam mobil itu. Kamu
menjerit sekeras mungkin. Tubuhmu berontak dengan sepenuh tenaga, tapi dua
orang dari mereka memegang lenganmu kencang, dan satunya lagi... lelaki satunya
membuka sebuah kotak dan mengeluarkan benda rumah sakit berujung tajam. Jarum
suntik!
Wajahmu
terlihat sangat tegang dan ketakutan.
“Lepaskan!
Lepaskan aku!” itulah teriakan terakhir, sebelum akhirnya matamu terkatup.
***
Kamu
terbangun dengan kepala amat berat. Matamu berkejap-kejap. Pening seperti menghalangi
penglihatanmu.
“Hah!
Di mana aku?! Kereta! Kereta pukul tujuh, aku harus naik kereta pukul tujuh!”
teriakmu dengan nada tinggi sambil menggedor pintu bercat putih yang membuatmu
tak bisa lari.
Tak
lama, dua lelaki paruh baya yang tadi kau temui di angkutan umum membuka pintu.
“Saya
harus pergi, Pak. Saya harus naik kereta pukul tujuh. Saya mohon, Pak.” Kamu
memelas. Tapi, seakan tak punya belas kasih. Mereka malah menggeret lenganmu
dan mengikat tangan serta kakimu di atas ranjang. Tak lama, sebuah jarun suntik
menembus kulit putihmu. Lagi-lagi, kamu pun terlelap.
“Kasihan
ya, dia masih muda, cantik, tapi harus berakhir di bangsal rumah sakit ini.”
“Kata
Dokter Riyan, otaknya mulai tidak waras sejak kehilangan pujaan hatinya. Pria
yang disukainya meninggal dalam kecelakaan maut antara kereta dan mini bus.
Tepat pukul tujuh.”
- SELESAI -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar