![]() |
Kemarin,
seorang tetangga (yang adalah kerabat jauhmu) datang ke rumah. Tanpa ditanya,
ia langsung menjabarkan alasan kedatangannya : menjahit baju untuk menghadiri hari
bahagiamu. Kamu, yang sudah lama tak kudengar kabarnya. Kamu, yang sudah lama
kuupayakan untuk lenyap dari ingatan.
Katanya,
hari Minggu di bulan November pernikahanmu akan digelar. Aku tentu tidak
bertanya, tapi telingaku selalu mencuri dengar dari dalam kamar. Entah karena
suaranya yang terlalu keras, atau karena aku yang terlalu keras kepala masih
ingin tahu kabarmu. Diam-diam, aku mendengarkan dengan seksama. Seperti seorang
murid yang khusyuk mendengar nasihat gurunya.
Itu
bukan kabar buruk. Jadi, aku tidak boleh bersedih.
Itu tentu
kabar baik. Namun, aku minta maaf karena tidak bisa ikut berbahagia.
Bibirku
membentuk bulatan, ber-oh, saat Mama menyampaikan ulang kabar pernikahanmu.
Sesingkat itu, kemudian bergegas menuju kamar. Menghindari percakapan yang
kutahu akan melukai hatiku lebih dalam.
Ini
sudah tahun kesekian sejak aku bertekad untuk melupakan dan tak lagi berharap
pada kekosongan. Meski kadang harapan itu datang : “Jika aku menunggu sedikit
lebih lama, akankah kamu menghampiriku dengan perasaan yang sama?”
Kota
hujan menjadi tempat yang kau pilih untuk mengikat janji. Kota yang juga adalah
kampung halamanku. Kota yang di dalamnya kusimpan banyak cerita. Kini, kota itu
menambah satu lagi ceritanya : tempat di mana cinta pertamaku melabuhkan hati,
namun bukan di hatiku.
Sebenarnya,
saat mendengar kabar itu pertama kali, aku ingin sekali membuka akun media
sosial dan menelusuri siapa wanita yang berhasil meluluhkan hatimu. Aku
penasaran setengah mati. Namun, di detik berikutnya, kuurungkan niat itu. Siapapun
dia. Aku yakin dia orang yang baik. Dia bisa memberikanmu kebahagiaan dan
akhirnya keyakinan untuk mengarungi hidup dalam bahtera rumah tangga.
Kini,
hatimu telah menjadi miliknya. Tak ada harapan sedikitpun untuk impianku di
masa lalu.
Di
masa depan, aku tetap berharap kamu selalu berbahagia.
Di
masa depan, aku juga ingin berbahagia, meski bukan bersamamu.
Sudah
ya, kisah ini sudah berakhir.
Mungkin,
kedatangannya ke rumahku adalah suatu pertanda sekaligus untuk mengatakan
padaku agar mengakhiri perasaan di masa lalu dan memberi ruang bagi cinta yang
akan datang.
Untuk
kamu, aku ingin mengucapkan terima kasih. Terima kasih telah menjadi cinta
pertamaku. Terima kasih telah menjadi sosok imajinasi dalam tulisan-tulisanku.
Selamat menempuh hidup baru, semoga berbahagia selalu….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar